TRESNANING WAGIYAH
PART 1
Hujan rintik yang mengguyur kedua pasangan sejoli itu tidak
membuat keduanya buru-buru untuk mencari tempat berteduh.
Mereka bahkan dengan sukacita melanjutkan diri dalam
kegembiraan.
Semakin deras hujan yang turun semakin mereka tertawa dengan
lepas.
Tidak peduli pakaian mereka basah kuyup, sejoli itu masih
menyusuri trotoar di samping deretan pertokoan yang memanjang sepanjang jalan.
Kemesraan yang mereka tunjukan di sepanjang jalan itu tentu
saja menjadi bahan perhatian bagi orang-orang yang sedang berteduh.
Bukan saja karena si perempuan yang cantik dengan lekuk tubuh
yang indah dipandang mata, namun terlebih karena sikap keduanya sedikit berani meski
berada di tempat umum.
Beberapa pasang mata melihat bagaimana si lelaki merangkul pundak
si perempuan, sedangkan si perempuan dengan manja tampak sangat menikmati
rangkulan itu. Mereka seakan tidak peduli.
Kebahagiaan itu memang tanpa sebab. Keduanya sudah berencana
untuk menikah. Bahkan hari bahagia itu telah mereka sepakati dalam tujuh hari
ke depan.
Ya, 7 hari lagi mereka akan menggelar ijab kabul sekaligus
resepsi pernikahan mereka.
Siapa yang tidak akan bahagia bisa bersanding dengan orang
yang dicintai, termasuk kedua sejoli itu pastinya.
Mereka tiba di sebuah tempat parkir lalu setelah memberikan
uang parkir dengan santai si lelaki melajukan sepeda motornya.
Si perempuan pun dengan erat memeluk dari belakang.
“Pelan-pelan saja ya, Mas. Hujan begini biasanya jalanan licin.”
Si perempuan mengingatkan.
“Iyalah, Dek. Lagi pula, hujan begini kalau ngebut, ‘kan
dingin?”
Di tengah perjalanan hujan deras kembali mengguyur mereka.
Di siang menjelang sore, sejoli itu semakin larut dalam
bahagia, tentu saja bahagia dari sudut pandang mereka karena sebagian besar
para pengendara lain justru minggir.
****
Seperempat jam
kemudian.
Mereka pun memasuki sebuah halaman rumah.
Hujan masih setia mengguyur meski tidak deras seperti beberapa waktu lalu.
Sejoli yang basah kuyup itu lantas mengambur masuk rumah.
Terlihat kedua orang tua yang menyambut keduanya hanya
geleng-geleng kepala.
Sang bapak kemudian menyulut rokoknya dan asap putih mengepul.
Tidak seberapa lama kemudian menyuruh putrinya yang baru
datang agar membuatkan kopi untuknya dan juga Widodo, calon menantunya.
Disuruh pula Widodo ikut serta menikmati rokok.
Dengan senang hati Widodo pun mengambil sebatang.
Tidak lama kemudian keduanya sudah saling melempar asap.
Wagiyah keluar tidak lama kemudian.
Ia membawa dua gelas kopi dan sepiring pisang goreng.
“Kopinya, Mas. Mumpung hangat. Pisang goreng buatan ibu enak
lho Mas. Ayo, dimakan!”
Terbawa rasa lapar, tanpa malu-malu Widodo pun mengambil
gorengan itu dengan seiris. Sementara itu, Wagiyah kembali masuk.
Bapak dan calon menantu yang sedang menikmati asap rokok itu
sedikit terganggu ketika belum lama berselang Wagiyah kembali keluar dengan
sedikit menunjukkan wajah cemberut.
Widodo yang melihat wajah bertekuk kurang sedap itu lantas
bertanya pada calon istrinya. “Ada apa, Dek?”
Wagiyah tidak menjawab, tapi segera memberikan sepasang
sandal yang baru saja mereka beli.
Melihat itu tentu saja Widodo tidak mengerti apa yang Wagiyah
maksud.
Sambil mematikan rokoknya kembali Widodo bertanya tentang
sendal tersebut.
“Sendalnya kekecilan, Mas,” jawab Wagiyah.
“Lah, bukannya tadi sudah kamu coba ukuran sama modelnya juga.
Kamu sendiri yang pilih, ‘kan?”
“Iya sih, Mas. Tapi tadi waktu dikasih aku kurang sreg sama
warnanya. Terus aku tukar. Eh, warna yang aku suka ukuran nomornya di bawah
yang tadi. Aku pikir sih nggak masalah, tapi ternyata kekecilan, Mas.”
Kalau ia ingin menukar sendal tersebut tentu saja sulit buat Widodo.
Untuk berkata tidak, sang bapak dengan tegas tidak memperbolehkan mereka untuk
kembali ke toko sandal itu.
Sang bapak menyarankan agar menunggu kakak Wagiyah pulang
dari kerjanya. Soalnya cuaca masih sangat mendung, hujan bisa turun
sewaktu-waktu.
“Nanti menunggu Satiman pulang saja. Pasti akan diantar.”
Meski bukan mobil keluaran terkini setidaknya bisa melindungi
diri dari hujan, tapi sikap Wagiyah sungguh sangat berbeda. Di sore itu ia
bahkan berani berdebat dengan ayahnya dengan nada tinggi setengah membentak.
“Pokoknya aku harus menukar sandal itu sekarang!”
Tentu saja sang bapaknya terdiam mendengar Wagiyah berkata
dengan nada tinggi seperti itu.
Widodo yang melihat sedikit keributan itu pun mencoba
menengahi.
“Ya, sudah. Ya, sudah. Kita akan menukarnya,” kata Widodo.
Widodo kemudian bangkit dari kursinya. Meski dengan agak
malas sebenarnya ia pun kembali menyalakan mesin sepeda motornya.
Ayah Wagiyah menggeleng-geleng kepala ketika Widodo berpamitan. Mereka pun meninggalkan rumah.
****
Di jalan mereka sempat berpapasan dengan Satiman kakak Wagiyah,
tapi atas permintaan Wagiyah mereka tetap meluncur tanpa memedulikan Satiman.
****
20 menit perjalanan
berlalu.
Apa yang menjadi keinginan Wagiyah pun terpenuhi.
Setelah terjadi sedikit rayu merayu pemilik toko pun
memperbolehkan sandal yang kekecilan itu untuk ditukar.
Senyum Wagiyah pun mengembang.
Dengan sorot mata yang teduh Widodo memandangi calon istrinya
itu.
Mereka pun kembali pulang.
****
Aspal yang belum kering setelah diguyur hujan itu pun kembali
basah.
Widodo tidak berani untuk menarik dalam-dalam hendel gas,
apalagi jalan menuju rumah Wagiyah memang sedikit berkelok-kelok.
Bukan itu saja, di beberapa ruas bahkan terdapat jalan dengan
lubang yang sangat membahayakan perjalanan.
Seakan memakan waktu lebih lama karena di depan mereka
rombongan truk pengangkut berjalan sangat pelan.
Wagiyah tampak gusar.
Agak sulit memang bagi Widodo untuk mendahului truk, apalagi
dari arah berlawanan juga rame bis dan kendaraan lain.
“Mas, cepat sedikit kenapa! Kalau kita berjalan terus di
belakang truk bisa bulan depan kita baru sampai rumah, Mas!”
Widodo tidak memedulikan ucapan Wagiyah. Ia lebih paham
keadaan di depan sana. Memaksakan untuk mendahului tentu sangat berisiko. Namun,
Wagiyah semakin kesal dengan cara Widodo membawa kendaraan yang tidak seperti
biasanya.
Wagiyah yang Widodo kenal adalah Wagiyah yang penuh rasa
sabar, tapi tidak untuk kali ini. Berkali-kali ia terus menggerutu karena
perjalanan yang dirasa sangat lambat. Beberapa kali ia bahkan terdengar
mengumpat entah karena jengkel karena Widodo tidak tancap gas.
Truk pengangkut tebu berhasil Widodo dahului.
Brummmm!
Wagiyah tertawa puas dengan aksi calon suaminya itu, tapi di
depan mereka masih ada 4 atau 5 truk yang berjalan beriringan, sementara dari
arah berlawanan kendaraan-kendaraan besar juga terlihat padat merayap. Hal itu
menyebabkan Widodo kembali di belakang truk tebu untuk menunggu saat yang tepat
untuk kembali mendahului.
Saat Widodo melihat kendaraan dari arah berlawanan yang
kosong. Ia pun kembali tancap gas.
Brummm!
Satu truk berhasil ia dahului.
Brummm!
Dalam keadaan masih melaju kencang itu Widodo tidak menyadari
bahwa di depannya ada sebuah lengkungan lubang yang cukup dalam. Widodo tidak
sempat menghindari lubang itu. Ban depan terlanjur masuk dan karena itulah setang
sepeda motor yang Widodo kendalikan menjadi oleng laju sepeda motor tidak
terkendali.
BERSAMBUNG KE PART 2
No comments:
Post a Comment