Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

TRESNANING WAGIYAH

 PART 1

Hujan rintik yang mengguyur kedua pasangan sejoli itu tidak membuat keduanya buru-buru untuk mencari tempat berteduh.

Mereka bahkan dengan sukacita melanjutkan diri dalam kegembiraan.

Semakin deras hujan yang turun semakin mereka tertawa dengan lepas.

Tidak peduli pakaian mereka basah kuyup, sejoli itu masih menyusuri trotoar di samping deretan pertokoan yang memanjang sepanjang jalan.

Kemesraan yang mereka tunjukan di sepanjang jalan itu tentu saja menjadi bahan perhatian bagi orang-orang yang sedang berteduh.

Bukan saja karena si perempuan yang cantik dengan lekuk tubuh yang indah dipandang mata, namun terlebih karena sikap keduanya sedikit berani meski berada di tempat umum.

Beberapa pasang mata melihat bagaimana si lelaki merangkul pundak si perempuan, sedangkan si perempuan dengan manja tampak sangat menikmati rangkulan itu. Mereka seakan tidak peduli.

Kebahagiaan itu memang tanpa sebab. Keduanya sudah berencana untuk menikah. Bahkan hari bahagia itu telah mereka sepakati dalam tujuh hari ke depan.

Ya, 7 hari lagi mereka akan menggelar ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan mereka.

Siapa yang tidak akan bahagia bisa bersanding dengan orang yang dicintai, termasuk kedua sejoli itu pastinya.

Mereka tiba di sebuah tempat parkir lalu setelah memberikan uang parkir dengan santai si lelaki melajukan sepeda motornya.

Si perempuan pun dengan erat memeluk dari belakang.

“Pelan-pelan saja ya, Mas. Hujan begini biasanya jalanan licin.” Si perempuan mengingatkan.

“Iyalah, Dek. Lagi pula, hujan begini kalau ngebut, ‘kan dingin?”

Di tengah perjalanan hujan deras kembali mengguyur mereka.

Di siang menjelang sore, sejoli itu semakin larut dalam bahagia, tentu saja bahagia dari sudut pandang mereka karena sebagian besar para pengendara lain justru minggir.

****

Seperempat jam kemudian.

Mereka pun memasuki sebuah halaman rumah.

Hujan masih setia mengguyur meski tidak deras seperti  beberapa waktu lalu.

Sejoli yang basah kuyup itu lantas mengambur masuk rumah.

Terlihat kedua orang tua yang menyambut keduanya hanya geleng-geleng kepala.

Sang bapak kemudian menyulut rokoknya dan asap putih mengepul.

Tidak seberapa lama kemudian menyuruh putrinya yang baru datang agar membuatkan kopi untuknya dan juga Widodo, calon menantunya.

Disuruh pula Widodo ikut serta menikmati rokok.

Dengan senang hati Widodo pun mengambil sebatang.

Tidak lama kemudian keduanya sudah saling melempar asap.

Wagiyah keluar tidak lama kemudian.

Ia membawa dua gelas kopi dan sepiring pisang goreng.

“Kopinya, Mas. Mumpung hangat. Pisang goreng buatan ibu enak lho Mas. Ayo, dimakan!”

Terbawa rasa lapar, tanpa malu-malu Widodo pun mengambil gorengan itu dengan seiris. Sementara itu, Wagiyah kembali masuk.

Bapak dan calon menantu yang sedang menikmati asap rokok itu sedikit terganggu ketika belum lama berselang Wagiyah kembali keluar dengan sedikit menunjukkan wajah cemberut.

Widodo yang melihat wajah bertekuk kurang sedap itu lantas bertanya pada calon istrinya. “Ada apa, Dek?”

Wagiyah tidak menjawab, tapi segera memberikan sepasang sandal yang baru saja mereka beli.

Melihat itu tentu saja Widodo tidak mengerti apa yang Wagiyah maksud.

Sambil mematikan rokoknya kembali Widodo bertanya tentang sendal tersebut.

“Sendalnya kekecilan, Mas,” jawab Wagiyah.

“Lah, bukannya tadi sudah kamu coba ukuran sama modelnya juga. Kamu sendiri yang pilih, ‘kan?”

“Iya sih, Mas. Tapi tadi waktu dikasih aku kurang sreg sama warnanya. Terus aku tukar. Eh, warna yang aku suka ukuran nomornya di bawah yang tadi. Aku pikir sih nggak masalah, tapi ternyata kekecilan, Mas.”

Kalau ia ingin menukar sendal tersebut tentu saja sulit buat Widodo. Untuk berkata tidak, sang bapak dengan tegas tidak memperbolehkan mereka untuk kembali ke toko sandal itu.

Sang bapak menyarankan agar menunggu kakak Wagiyah pulang dari kerjanya. Soalnya cuaca masih sangat mendung, hujan bisa turun sewaktu-waktu.

“Nanti menunggu Satiman pulang saja. Pasti akan diantar.”

Meski bukan mobil keluaran terkini setidaknya bisa melindungi diri dari hujan, tapi sikap Wagiyah sungguh sangat berbeda. Di sore itu ia bahkan berani berdebat dengan ayahnya dengan nada tinggi setengah membentak.

“Pokoknya aku harus menukar sandal itu sekarang!”

Tentu saja sang bapaknya terdiam mendengar Wagiyah berkata dengan nada tinggi seperti itu.

Widodo yang melihat sedikit keributan itu pun mencoba menengahi.

“Ya, sudah. Ya, sudah. Kita akan menukarnya,” kata Widodo.

Widodo kemudian bangkit dari kursinya. Meski dengan agak malas sebenarnya ia pun kembali menyalakan mesin sepeda motornya.

Ayah Wagiyah menggeleng-geleng kepala ketika Widodo berpamitan. Mereka pun meninggalkan rumah.


****

Di jalan mereka sempat berpapasan dengan Satiman kakak Wagiyah, tapi atas permintaan Wagiyah mereka tetap meluncur tanpa memedulikan Satiman.

****

20 menit perjalanan berlalu.

Apa yang menjadi keinginan Wagiyah pun terpenuhi.

Setelah terjadi sedikit rayu merayu pemilik toko pun memperbolehkan sandal yang kekecilan itu untuk ditukar.

Senyum Wagiyah pun mengembang.

Dengan sorot mata yang teduh Widodo memandangi calon istrinya itu.

Mereka pun kembali pulang.

****

Aspal yang belum kering setelah diguyur hujan itu pun kembali basah.

Widodo tidak berani untuk menarik dalam-dalam hendel gas, apalagi jalan menuju rumah Wagiyah memang sedikit berkelok-kelok.

Bukan itu saja, di beberapa ruas bahkan terdapat jalan dengan lubang yang sangat membahayakan perjalanan.

Seakan memakan waktu lebih lama karena di depan mereka rombongan truk pengangkut berjalan sangat pelan.

Wagiyah tampak gusar.

Agak sulit memang bagi Widodo untuk mendahului truk, apalagi dari arah berlawanan juga rame bis dan kendaraan lain.

“Mas, cepat sedikit kenapa! Kalau kita berjalan terus di belakang truk bisa bulan depan kita baru sampai rumah, Mas!”

Widodo tidak memedulikan ucapan Wagiyah. Ia lebih paham keadaan di depan sana. Memaksakan untuk mendahului tentu sangat berisiko. Namun, Wagiyah semakin kesal dengan cara Widodo membawa kendaraan yang tidak seperti biasanya.

Wagiyah yang Widodo kenal adalah Wagiyah yang penuh rasa sabar, tapi tidak untuk kali ini. Berkali-kali ia terus menggerutu karena perjalanan yang dirasa sangat lambat. Beberapa kali ia bahkan terdengar mengumpat entah karena jengkel karena Widodo tidak tancap gas.

Truk pengangkut tebu berhasil Widodo dahului.

Brummmm!

Wagiyah tertawa puas dengan aksi calon suaminya itu, tapi di depan mereka masih ada 4 atau 5 truk yang berjalan beriringan, sementara dari arah berlawanan kendaraan-kendaraan besar juga terlihat padat merayap. Hal itu menyebabkan Widodo kembali di belakang truk tebu untuk menunggu saat yang tepat untuk kembali mendahului.

Saat Widodo melihat kendaraan dari arah berlawanan yang kosong. Ia pun kembali tancap gas.

Brummm!

Satu truk berhasil ia dahului.

Brummm!

Dalam keadaan masih melaju kencang itu Widodo tidak menyadari bahwa di depannya ada sebuah lengkungan lubang yang cukup dalam. Widodo tidak sempat menghindari lubang itu. Ban depan terlanjur masuk dan karena itulah setang sepeda motor yang Widodo kendalikan menjadi oleng laju sepeda motor tidak terkendali.

BERSAMBUNG KE PART 2

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search